Persekusi Waktu
Mencekat, menenggelamkan hingga padam. Usai dalam jiwa yang luluh — lantak. Tercerai — berai menjadi serpihan yang diabaikan. Tidak berpaling sedikit pun, bahkan jika petir mencekik sekali lagi. Hujan terus turun, membanjiri paru — paru hingga jantung agar mampus.
Tercekat, tenggelam, berakhir menjadi tetek — bengek yang terlupakan. Tidak ada usaha dalam melupakan, tidak seorang pun menyempatkan diri untuk mengingat, ia mati tanpa sejarah. Karena amarah, juga kesalahan — kesalahan sebagai manusia. Sesal tertawa, merutuk kepada semua sorot yang menatapnya protes. Baginya waktu adalah kekasih, selalu berjalan bersama, memberi manusia — manusia kisah getir agar bangkit atau mati.
Tangis ditertawakan malam, lalu dipukuli hingga binasa oleh siang. Tidak pernah ada tempat bagi si lemah, tukang memikul keluh. Jiwanya yang jelek perlahan membusuk menjadi bau — bau yang dihindari. Tidak ada yang menyukainya, karena itu ia tidak selamat. Mati tidak berperang, sehingga kepergiannya dikehendaki begitu saja. Penderitaan, kekecewaan, segalanya datang sebagai hutang masa lalu. Terlalu dan selalu, menjadi bisu dalam teriakan seorang manusia yang terlambat.